Published on:
Modified on:
Author: Alife
Share to:
Beberapa tahun terakhir, masyarakat Indonesia semakin menyadari akan pentingnya memiliki asuransi sebagai proteksi untuk diri dan keluarga di masa depan. Hal inilah yang membuat orang-orang kerap mencari tahu tentang syarat sah dalam perjanjian asuransi.
Informasi ini menjadi hal yang penting untuk diketahui karena berkaitan dengan polis asuransi yang akan Anda tandatangani nantinya. Jadi, apa saja syarat perjanjian asuransi? Yuk, temukan jawabannya dalam artikel di bawah ini!
Baca Juga: Asuransi Kantor vs Asuransi Pribadi, Apa Perlu Miliki Keduanya?
Sebenarnya, perjanjian asuransi masuk ke dalam jenis perjanjian khusus yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD). Oleh karena itu, perjanjian ini wajib memenuhi persyaratan kontrak asuransi yang meliputi hak dan tanggung jawab antara perusahaan asuransi sebagai pihak penanggung dan pemegang polis asuransi sebagai tertanggung.
Sesuai dengan Pasal 1320 KUHPdt, terdapat empat syarat sah dalam perjanjian asuransi, yakni kesepakatan para pihak, kewenangan berbuat, objek tertentu, dan kausa yang halal.
Sedangkan dalam Pasal 251 KUHD, perjanjian asuransi diatur sebagai kewajiban pemberitahuan, di mana tertanggung dan penanggung sepakat mengadakan perjanjian asuransi. Kesepakatan atau persyaratan asuransi tersebut meliputi:
Syarat perjanjian asuransi yang pertama adalah benda yang menjadi objek asuransi. Adapun benda yang dimaksud adalah objek yang diasuransikan, seperti jiwa, kesehatan, kendaraan, properti, dan lain sebagainya.
Nantinya, objek inilah yang akan menjadi pertanggungan apabila tertanggung merupakan pemilik sah dari benda-benda tersebut. Sementara itu, tertanggung merupakan individu yang berkepentingan dengan kepemilikan objek yang diasuransikan.
Contohnya, seperti saat konsumen ingin mengasuransikan dirinya dalam asuransi jiwa, maka objeknya adalah ia sebagai pihak tertanggung dan pemilik yang sah. Tanpa adanya objek asuransi, maka persyaratan perjanjian asuransi akan dianggap tidak sah.
Pada saat konsumen membeli asuransi, pihak tertanggung atau pemegang polis diwajibkan untuk membayar premi yang berfungsi mengalihkan risiko kerugian kepada pihak perusahaan asuransi.
Dengan kata lain, premi inilah yang berperan sebagai bukti kuat bahwa perjanjian asuransi bersifat mengikat. Biasanya, semakin besar premi yang pihak tertanggung bayarkan, maka akan semakin besar juga pengalihan risiko kepada perusahaan asuransi.
Contohnya, pihak tertanggung membeli asuransi jiwa, lalu mengalami kecelakaan hingga meninggal dunia. Nantinya, risiko meninggal dunia inilah yang akan dialihkan kepada pihak asuransi dengan kewajiban membayar Uang Pertanggungan sesuai dengan yang tertera dalam polis asuransi.
Tentu saja perjanjian penggantian dan pengalihan risiko ini harus disetujui oleh kedua belah pihak dan tertulis dalam perjanjian yang sah. Tak hanya itu saja, risiko ini juga ditentukan oleh faktor Hazard, baik Moral Hazard atau Physical Hazard.
Dengan begitu, perjanjian dan kesepakatan ini akan ditentukan berdasarkan prinsip yang dimiliki perusahaan asuransi. Hal ini jugalah yang membuat kebijakan tiap perusahaan akan berbeda-beda.
Evenemen merupakan peristiwa yang tidak pasti dan berkaitan dengan pihak tertanggung. Contohnya, seperti sakit yang mengakibatkan cacat permanen ataupun menyebabkan kematian.
Apabila hal ini terjadi, maka pihak asuransi wajib memberikan ganti rugi kepada ahli waris berupa santunan. Adapun besarannya sesuai dengan kesepakatan dan berdasarkan pada premi yang dipilih.
Akan tetapi, semakin besar premi yang Anda bayar, maka akan semakin besar ganti rugi yang didapatkan oleh ahli waris. Tak hanya itu saja, nilai pertanggungan atau santunan juga harus sesuai dengan nilai objek pertanggungan yang sebenarnya, sehingga tidak terjadi under atau over insurance.
Syarat khusus asuransi umumnya berbentuk proposal asuransi yang berisi beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh pihak tertanggung dan bisa dibatalkan. Sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1320 KUHPerdata, perjanjian asuransi dapat dibatalkan apabila terjadi beberapa hal di bawah ini.
Bukan hanya itu saja, proposal tersebut juga harus diisi dan ditandatangani oleh pihak tertanggung serta pihak penanggung. Kemudian juga harus dianggap sebagai dasar hukum yang tidak dapat dipisahkan dari polis.
Syarat sah dalam perjanjian asuransi yang terakhir adalah dibuat secara tertulis yang disebut dengan polis. Jadi, polis inilah yang nantinya akan menjadi bukti kuat bahwa pihak tertanggung dan penanggung telah terikat dalam kerja sama.
Hal ini sudah dijelaskan dalam Pasal 256 Ayat 1 KUHD, yakni polis merupakan perjanjian asuransi yang tertulis dalam bentuk akta. Kemudian berdasarkan Pasal 358 Ayat 1 KUHD, dijelaskan bahwa polis merupakan satu-satunya bukti tertulis yang membuktikan perjanjian pertanggungan antara kedua belah pihak di mata hukum.
Dengan kata lain, perjanjian asuransi baru dianggap sah apabila polis sudah dikeluarkan. Hal ini selaras dengan Pasal 257 KUHD dan Pasal 258 KUHD yang berbunyi sebagai berikut.
a. Pasal 257 KUHD
b. Pasal 258 KUHD
Baca Juga: Kenali Asuransi Income Protection untuk Menghadapi Risiko Kehidupan
Itulah lima syarat sah perjanjian asuransi yang penting untuk diketahui nasabah sebelum melakukan proses penandatanganan polis asuransi. Dengan memahami seluruh syarat di atas, maka Anda bisa membuat perjanjian yang sesuai dengan syarat dalam undang-undang.
Baru dengan begitu, kedua belah pihak tidak akan merasa dirugikan pada saat terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara bagi Anda yang tertarik ingin menjadi agen asuransi, tapi belum memahami cara membuat perjanjian asuransi sesuai ketentuan undang-undang, maka bisa mendaftarkan diri Anda sebagai Alife Partner.
Sebagai mitra bisnis Alife by Vision, Anda akan mendapatkan pelatihan sebagai agen asuransi dan bisa turut serta memberikan ide-ide kreatif untuk meningkatkan potensi bisnis asuransi. Tertarik? Daftarkan diri Anda di sini sekarang juga!